[Fanfiction] Gidaliji Malgo

[Poster FF] Gidaliji Malgo by Astria Dhima

Title : 

Gidaliji Malgo ( Do Not Wait Any Longer)

Summary :

Di ruangan itu, ruangan yang penuh sesak dengan ingatan akan masa-masa indah yang pernah ku alami. Rak buku tua, dinding coklat tua serta lantai yang berdecit membuatku ingat akan sebuah kenangan yang pernah terukir. Sebuah piano tua menjadi satu saksi bisu yang mampu menceritakan padaku tentang apa yang terjadi dulu. Jari jemari itu, wajah murung itu dan air mata itu masih tampak jelas di dalam pikiranku. Suara piano yang memekik membuat hatiku luluh, terhanyut dalam sebuah fantasi yang tak bisa ku putar kembali.

Writer : Astria Dhima (@astria_dhima) | Main Cast : Park Joon & Shim Hyeri | Support Cast : Park Hongju etc | Genre : Drama, Romance, Fantasy | Length : Oneshoot | Rating : General

 

Note : FF ini sebenarnya Song Fict dari lagu Beast Fiction. Namun karena ada satu dua hal cast aku rubah sepenuhnya, menjadi Park Joon (Si Artis) dan pacarnya Shim Hye Mi. Dan jangan marah kalo kalian cari di google nama-nama itu gak ada, karena semua nama diatas murni fake alias palsu. Jadi anggep aja yang main itu bias kalian sama kalian loh?.

Btw, ini fanfict kedua di blog ini yey. Sebenernya tantangan terbesar dalam menulis adalah ‘menyelesaikannya’. Semoga dengan mempublish FF di blog bisa bikin aku semangat dan lebih produktif lagi dalam menulis.

Daripada banyak bacot mending langsung baca aja siapa tau nyangkut di hari. Sorry, untuk konflik yang kurang feel atau bahasa yang kurang ciamik. Semua ini masih dalam proses pembelajaran. Satu saran lagi, pas baca mending sambil dengerin OST nya deh, alias Beast – Fiction. Enjoy~~

 

Jika ini hanya fantasy. Aku akan mengabaikannya dan menjauh. Semua itu akan membuatku nyaman.

 

Huruf demi huruf telah terangkai menjadi kata-kata di buku Joon. Hari ini ditempat yang sama ia merenung lagi. Mengingat-ingat penggalan memori yang masih tersisa di dalam benaknya. Tanpa berniat untuk mengakhiri tulisannya, ia memejamkan mata lalu bangkit dari tempat duduknya. Didepannya sudah berjajar rapi buku-buku tua yang sering ia jamah dulu. Namun sekarang buku-buku hanya seperti ongokan debu yang terlupakan. Jemari Joon mengabsen setiap buku yang ada disana, lusuh dan kusam tak bertuan. Ia menelan ludah, hampir air mata nya mengalir begitu saja.

Suara decitan sepatunya menjadi satu-satunya sumber suara yang mengalahkan keheningan kala itu. Nafas Joon terasa sesak, penuh seperti ada sesuatu yang menghambat jantungnya untuk bernafas. Tangan Joon berhenti pada sebuah buku yang lebih kecil dari buku-buku yang ada disampingnya. Mulutnya mengatup namun ingin mengatakan sesuatu, ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun ia sendiri bingung bagaimana ia harus mengatakannya.

Joon mengambil buku itu dengan hati-hati. Ia memegangnya dengan kedua tangan, membolak-balikkan seakan ada sesuatu yang tersembunyi dibalik buku bersampul abu-abu itu. Sesaat bayangan wanita yang sangat ia rindukan terlintas di benaknya, sangat cepat hingga ia sendiri tak bisa melihat wajah orang yang sangat ia rindukan itu. Joon memejamkan mata, menahan seluruh air mata yang ingin tumpah dari sudut mata nya. Lalu dengan guraian air mata yang tertahan ia membuka halaman demi halaman buku itu. Rangkaian kalimat terketik indah disana, sangat kecil dan rapi. Saat ia membalik halamannya lagi, ada suatu benda yang membuat Joon tercekat. Sebuah foto yang sudah usang dengan pinggiran yang sudah terbakar, gambar seorang wanita yang mengenakan gaun putih panjang. Joon menarik nafas dan mendesah “Kau ada dimana sekarang?”

“Hyung….” Teriak seseorang yang lalu menepuk punggung Joon. Ia berbalik lalu menyimpan foto itu didalam saku celananya. Ia hanya tersenyum kecut lalu menyapa orang yang ada di belakangnya itu.

“Hong Ju, ada apa?” sapa Joon dengan nada senormal mungkin ketika menyadari bahwa orang yang menepuknya adalah manager sekaligus adiknya sendiri.

“Kau baru saja menangis? Ah sudahlah. Nanti kau adalah latihan, kau harus datang. Dan sekarang Music Show sudah menunggu, kau harus bergegas,” balas Hong Ju lalu menepuk pundak Joon memberi semangat, setelah itu ia bergegas pergi tanpa menunggu balasan dari Joon.

            Joon masih memandang punggung Hong Ju yang sudah menghilang diujung ruangan. Ia menarik nafas panjang. Ia mengangguk kecil lalu mengembalikan buku itu ke tempat asalnya.

 

Diruang tunggu Music Show …                                                              

            Joon duduk di kursi tanpa ekspresi, dia melamun menggali semua memori yang masih ia rindukan. Dahinya berkerut dan bibirnya tersenyum samar. Tangannya terangkat setegah berdo’a, ia membisikkan sebuah kata yang sangat ingin ia dengar dari seseorang “saranghae …” lalu mata Joon terpejam.

            “Park Joon selanjutnya. Silahkan bersiap-siap,” perintah seorang staff Music Show yang berseragam lengkap. Para kru dari management Joon tampak gugup untuk comeback artis mereka kali ini. Hari ini banyak fans yang datang untuk comeback baru Joon, lebih banyak fans membuat Joon harus tampil lebih maksimal.

            “Sepertinya ada 1000 fans yang datang,” kata Seol Yi penata gaya Joon sedikit menghibur kru lainnya yang tegang.

            “Tidak. Kurasa ada 5000,” sambung Ketua Kang dengan tertawa.

            “Berapapun mereka yang jelas kita harus berusaha yang terbaik, bukankah begitu Hyung,” lanjut Hong Ju lalu melirik Joon yang ada disampingnya. Ia melihat Joon dengan tatapan heran. Semua kru sekarang sedang gugup menunggu penampilan Joon, lalu ada apa dengan Joon sendiri sehingga ia menampakkan muka muram begini.

            “Oh Hyung, tenang saja semua tak separah itu. Kau tahu, dengan penampilanmu nanti semua akan baik-baik saja,” kata Hong Ju yang duduk disamping Joon. Joon tersentak lalu menatap Hong Ju sekilas.

            “Ten tentu saja. Aku sangat gugup,” balas Joon singkat. Hong Ju menatap Joon tanpa arti, ada apakah dengan artis solo serta kakak kandungnya ini.

            “Park Joon bersiaplah,”

            “Ne,” sahut Joon, lalu ia berjalan menuju belakang panggung di iringi beberapa kru. Tak ada alasan apapun untuk meninggalkan panggung. Seluruh fans sudah menyambut Joon dengan teriakan yang memekakkan telinga. Seol Yi terlihat melonjak dan berteriak di ujung sana. Hong Ju serta Ketua Kang sibuk mengatur nafas dan kru lainnya menatap panggung dengan tatapan gugup.

            “Hitungan ketiga kau harus berlari ke panggunng,” jelas seorang staff Music Show. Joon hanya mengangguk lalu menyiapkan langkah. Setelah hitungan ketiga seperti yang di inginkan staff, Joon dan penarinya berlari ke panggung dan bersiap diposisi masing-masing.

            Lampu panggung masih gelap. Beberapa lampu menyinari ratusan penonton yang menunggu penampilan comeback Park Joon. Mereka berteriak dan mengayunkan lightstick mereka berirama. Joon menarik nafas berkali-kali, sekarang ia mencoba melupakan apa yang sedari tadi ia pikirkan. Sekarang ia hanya harus memikirkan penampilannya, ia harus tampil maksimal demi fans dan demi orang yang ia rindukan. Lalu lampu panggung menyala dan alunan music mulai berbunyi.

 

            “Kita sukses. Kita sukses,” teriak Ketua Kang sambil mengelap keringatnya dengan handuk cokelat. Ia tak henti-hentinya berteriak, ia sangat senang anak asuhannya bisa perform dengan maksimal.

            “Kita tinggal tunggu piala itu,” teriaknya lagi.

            “Oh Hyung, kau sungguh memukau. Tarian dan suaramu sangat bagus tadi,” teriak Hong Ju dengan jempol yang diarahkan ke wajah Joon. Joon hanya membalas dengan senyuman hambar. Lalu ia teringat akan foto yang ia simpan beberapa waktu lalu. Ia merogoh saku celananya, setelah mendapati barang itu masih disana ia bangkit dari tempat duduk dan berniat pergi.

            “Aku mau pergi sebentar,” katanya lalu melambaikan tangan pada seluruh kru. Hampir tak ada yang mempedulikannya, hanya Seol Yi yang menatapnya dan mendengar Joon mengatakan ingin pergi ke Apartemen Sun.

 

 

            Hari itu masih sore. Namun di kereta bawah tanah itu hanya ada beberapa orang yang menunggu kereta. Tidak biasanya seperti ini. Joon hanya berdiri mematung didepan rel kereta. Dipikirannya memutar ingatan-ingatan itu lagi. Ingatan saat ia bersama dengan orang yang ia cintai, bermain piano bersama dan tersenyum bersama sungguh menyenangkan. Ia melirik sekilas kearah ujung jalan. Jadwal kereta masih satu jam lagi. Ia memutuskan untuk berjalan meyusuri rel kereta dan mengurungkan niat untuk naik kereta.

            Ia berjalan lurus tanpa memandang apapun disekelilingnya. Sepi, hening dan tak berarti. Nafasnya terasa sesak, ia tak tahu harus bagaimana dirinya bertindak. Ia masih saja merindukan orang yang sudah jelas pergi meninggalkannya. Ia menunduk dan memejamkan mata. Ia terus berjalan, hingga ia tersadar saat ia menginjak tanah yang berbeda. Ia sangat terkejut saat mendapati jalan yang ada di kakinya bukan tanah lagi, ia berjalan di atas pasir, sangat putih dan lembut. Ia berhenti, lalu ia memandang kearah sekelilingnya. Luas, berpasir dan tak bertepi. Ia menarik nafas lalu berjalan lagi. Hatinya tersentak, matanya terbelalak dan jantungnya hampir saja berhenti. Didepannya, kini berdiri seseorang yang sangat ia kenali. Wajah yang murung itu, dan ekspresi itu membuat ingatannya kembali berhembus.

“Hye Ri….” Ia hampir tak percaya ia bisa mengatakannya lagi. Nama yang hampir tak pernah ia sebutkan kini terucap dari mulutnya. Ia tetap memandang orang dihadapannya itu dengan tatapan kosong.

            Waktu terasa berat untuk melangkah, sangat lama hingga ia tak menyadari wanita yang ada didepannya itu menangis. Perlahan beberapa butiran mulai membasahi pipinya, tetap sama ia tak berkata sedikitpun.

“Wae?…” Joon bertanya lebih-lebih pada dirinya sendiri.

“Untuk apa kau menungguku?” tanya orang yang ada didepannya itu sambil terus terisak. Joon tersentak, tangannya hampir meraih tangan orang yang ada didepannya namun tak bisa.

“Kita tidak bisa bersama, untuk apa kau menungguku..” katanya lagi. Ia tak beranjak dari posisinya, tetap menatap Joon penuh arti.

“Hye Ri, untuk apa…”

“Jika kau ingin bertanya untuk apa aku mengatakannya, kau sangat bodoh. Aku sudah tidak ada di dunia mu,” kata seseorang itu dengan sedikit berteriak. Hati Joon terasa hancur, mulutnya ternganga untuk berkata namun sebuah suara tak kunjung terucap dari bibirnya.

            Ia mendekat kearah seseorang itu. Tak sadar, air mata yang sempat tertahan mulai jatuh juga.

“Jangan…” teriak seseorang itu.

“Hye Ri,” seru Joon.

“Ku mohon jangan. Aku hanya ingin bertemu denganmu sekali, jangan pernah menangis lagi. Aku sudah bahagia, dan sangat bahagia,” kata seseorang itu lagi.

“Hye Ri, saranghae…”

“Jangan pernah menunggu ku lagi,” satu tetesan air mata terjatuh lagi dari matanya. Saat Joon ingin menyentuh wajahnya, air matanya menetas lagi lalu perlahan sosoknya mulai hilang. Tangan Joon gemetar, ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia jatuh terduduk di atas pasir lembut itu, ia menunduk dan menangis. Waktu terasa begitu cepat baginya, kejadian yang membuat wanita yang dicintainya pergi kembali terlintas dibenaknya. Ia sangat menyesal tak bisa menyelamatkannya waktu itu. Ia terus menunduk dan terus menerus berkata “Hye Ri, maafkan aku….”

 

            Sinar yang lembut mulai menusuk-nusuk mata Joon. Ia terperanggah lalu membuka matanya. Langit-langit putih dan selimut yang hangat sudah melindunginya.

“Oh, kau sudah sadar?” teriak seseorang yang ternyata Hong Ju. Ia meraih segelas air yang ada disamping Joon lalu memberikan padanya. Joon meraihnya namun tak berniat untuk meminumnya.

“Bagaimana aku bisa disini?” tanya Joon.

“Seseorang yang memberitahuku, ia bilang kau pingsan saat menunggu kereta,”

“Seseorang?” tanya Joon heran.

“Ya. Seol Yi bilang kau pergi ke Apartemen Sun, aku menjemputmu namun kau tak ada disana. Saat aku ingin kembali ke rumah ada seseorang yang menelponku lalu aku menemukanmu terbaring di bangku di stasiun kereta.” Jelas Hong Ju panjang lebar. Sebelum Joon membalas pernyataan Hong Ju, Hong Ju mulai buka mulut lagi.

“Untuk apa kau datang ke tempat itu lagi?” Hong Ju bertanya dengan menatap Joon serius.

“Semua orang datang ke stasiun untu naik kereta,” balas Joon dengan terkekeh.

“Bukan, yang ku maksud adalah Apartemen Sun,” saat Hong Ju mengatakannya, Joon sedikit terbelalak. Ia hampir tak bisa menjawab pertanyaan Hong Ju.

“Aku sendiri tidak tahu,” Joon menunduk.

“Bagaimanapun perasaanmu, kau tidak boleh menunggunya,” sambung Hong Ju lagi. Joon menatap Hong Ju lagi nyaris tanpa arti. Ia menggigit sudut bibirnya lalu angkat bicara.

“Mungkin kau benar, sudah saat nya aku melupakannya. Aku hanya merasa bersalah,” kata Joon. Saat Hong Ju ingin bicara tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia mengangkat teleponnya sebentar, lalu ia beranjak pergi.

“Kau bisa sarapan lalu datanglah ke tempat latihan, aku ada urusan,” kata Hong Ju lagi sambil sedikit bergegas.

            Joon menunduk, ia menarik sudut bajunya. Saat itu ia masih memakai pakaian yang sama saat ia pergi ke stasiun. Ia merogoh sakunya lagi, bukan sebuah foto yang ia temukan melainkan secarik kertas yang hampir sama kusamnya dengan foto yang sempat ia temukan kemarin.

 

 

Apa kau masih menungguku sekarang? Untuk apa kau menunggu orang yang tak akan pernah menemui mu lagi. Jika kau menunggu ku untuk meminta maaf, kau tidak perlu karena aku sudah memaafkanmu bahkan sebelum kau berniat untuk meminta maaf padaku. Kebakaran itu memang telah  merenggut nyawa ku, tetapi aku tidak menyalahkanmu atau menyalahkan siapapun. Tuhan memang menakdirkan kita untuk berpisah. Aku sudah bahagia di tempatku yang sekarang, kau pun harus bahagia disana. Fans mu lebih berarti, jika kau menyalahkan fans mu karena kau tidak bisa menyelamatkanku kau sungguh orang yang tidak punya hati. Jangan khawatir aku selalu tersenyum, untukmu dan untuk semua orang.

Jangan pernah menungguku lagi karena aku mencintaimu…

Saranghae….

 

            Air mata Joon menetes lagi saat ia membaca kalimat terakhir. Sekarang hatinya sudah lega, ia mendapat jawaban dari apa yang ia pertanyakan selama ini. Keputusan yang benar adalah tetap menjadi Joon untuk sahabat, fans dan untuk orang yang tidak ingin membuat Joon menunggu. Shim Hye Ri ….

 

 

 

Leave a Comment